Darisegi metode sejauh ini dikenal ada empat metode penafsiran yaitu ijmĂąli, ta h lĂźli, muqĂąrin dan mau dh Ă»'i. Metode ijmĂąli adalah motode yang paling awal muncul karena sudah digunakan sejak Nabi dan para sahabat. Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur'an tidak memberikan rincian yang detail, hanya secara ijmĂąli atau global.
ArticlePDF Available AbstractTulisan ini mencoba memaparkan ragam pendekatan yang telah digunakan oleh para ulama dalam menafsirkan al-Qurâan sejak periode klasik hingga modern-kontemporer. Berbagai penggunaan istilah dalam Ulum al-Qurâan, seperti, pendekatan, metode, dan corak, yang kadang terkesan tumpang tindih dan rancu, juga akan dipetakan dan dijelaskan disertai dengan keterangan beberapa kitab terkait. Tulisan ini menggunakan tipologi yang dibuat oleh Abdullah Saeed, yang membagi pendekatan tafsir klasik ke dalam empat jenis, 1 pendekatan berbasis linguistik, 2 pendekatan berbasis logika, 3 pendekatan berbasis tasawuf, dan 4 pendekatan berbasis tradisi/riwayat. Kemudian ia mengembangkan gagasan mengenai penekanan pada pendekatan kontekstual, terutama ketika menafsirkan ayat-ayat etika-hukum. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeAuthor contentAll content in this area was uploaded by Kusroni Kusroni on Jan 04, 2021 Content may be subject to copyright. 89 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH MENGENAL RAGAM PENDEKATAN, METODE, DAN CORAK DALAM PENAFSIRAN AL-QURâAN Kusroni Sekolah Tinggi Agama Islam Al Fithrah Email kusroni87 Abstrak Tulisan ini mencoba memaparkan ragam pendekatan yang telah digunakan oleh para ulama dalam menafsirkan al-Qurâan sejak periode klasik hingga modern-kontemporer. Berbagai penggunaan istilah dalam Ulum al-Qurâan, seperti, pendekatan, metode, dan corak, yang kadang terkesan tumpang tindih dan rancu, juga akan dipetakan dan dijelaskan disertai dengan keterangan beberapa kitab terkait. Tulisan ini menggunakan tipologi yang dibuat oleh Abdullah Saeed, yang membagi pendekatan tafsir klasik ke dalam empat jenis, 1 pendekatan berbasis linguistik, 2 pendekatan berbasis logika, 3 pendekatan berbasis tasawuf, dan 4 pendekatan berbasis tradisi/riwayat. Kemudian ia mengembangkan gagasan mengenai penekanan pada pendekatan kontekstual, terutama ketika menafsirkan ayat-ayat etika-hukum. Kata kunci pendekatan, corak, metode, tafsir al-Qurâan. Pendahuluan al-Qurâan menduduki posisi penting dalam kehidupan umat Islam. Sedangkan kebutuhan mereka untuk memahami dan mengamalkan al-Qurâan tidak dapat dipisahkan dari tafsir. Karena itu, kitab-kitab tafsir selalu bermunculan dari masa ke masa untuk memenuhi kebutuhan umat. Terdapat berbagai pendekatan, metode dan corak kecenderungan dalam tafsir al-Qurâan. Istilah-istilah tersebut sering digunakan secara bergantian, tumpang-tindih, serta tidak digunakan secara mapan. Sebagian ulama menyebut metode penafsiran ada dua, yakni metode penafsiran dengan riwayat serta dengan raâyu. Ada sebagian penulis menyebut beberapa metode penafsiran, yang oleh penulis lain tidak disebut sebagai metode, melainkan kecenderungan ittijah, seperti tafsir fiqhi, falsafi, âilmi, ijtimaâi, dan lain sebagainya. Volume 9, Nomor 1 Februari 2019 90 Berangkat dari kerancuan tersebut, tulisan ini bermaksud menjelaskan persoalan pendekatan, metode penyajian, serta beragam corak dalam diskurus tafsir al-Qurâan. Ragam Pendekatan dalam Penafsiran al-Qurâan Abdullah Saeed mencatat ada empat pendekatan tradisional yang digunakan dalam penafsiran al-Qurâan pendekatan berbasis linguistik, pendekatan berbasis logika, pendekatan berbasis tasawuf, dan pendekatan riwayat. Saeed menambahkan, bahwa, secara alamiah, banyak hal yang tumpang tindih dalam pendekatan-pendekatan di atas, yang kemudian memunculkan pertanyaan mana yang lebih dominan dalam satu karya tafsir al-Qurâan. Menurutnya, pendekatan-pendekatan ini disuguhkan untuk kepentingan analisis menurut Saeed, meskipun ada berbagai pendekatan yang berbeda, namun ada kesamaan yang jelas mengenai pentingnya memahami teks-teks al-Qurâan -terutama teks hukum dan semi hukum- secara literal. Pendekatan literal ini berdasarkan pada analisis filologis terhadap teks dan mengikuti riwayat yang dikumpulkan, dalam bentuk hadis atau pendapat para ulama masa lalu. Namun, Saeed menyayangkan fakta bahwa pendekatan ini tidak menekankan pemahaman akan pentingnya mempetimbangkan konteks makroal-Qurâan yang asli, atau mengidentifikasi bagaimana al-Qurâan relevan dengan konteks itu. Melihat kenyataan ini, Saeed kemudian mengusulkan pentingnya pendekatan kontekstual dalam diskursus tafsir al-Qurâan. Pada umumnya, seorang mufasir tidak hanya berpegang pada satu pendekatan saja ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qurâan. Kecuali pendekatan mistis, ketiga pendekatan lainnya hampir selalu terlibat dalam karya-karya tafsir klasik dengan proporsi yang beragam. Secara ekslusif, pendekatan berorientasi mistis banyak dipraktekkan oleh para mufasir dari kalangan sufi dan shiâah. Sementara itu, kategori lain membagi pendekatan hanya menjadi dua saja, yakni pendekatan Abdullah Saeed, al-Qurâan Abad 21 Tafsir Kontekstual Bandung Mizan, 2016, 30 Ibid., 31 âKonteks Makroâ merujuk kepada konteks al-Qurâan secara sosial, politik, kultural, ekonomi, intelektual pada awal abad ke-7 M. di jazirah Arab khususnya Makkah dan Madinah. Abdullah Saeed, al-Qurâan Abad 21 ,⊠31 Manna Khalil al-Qatttan, Studi Ilmu-ilmu Qurâan Jakarta Litera AntarNusa, 2001, 495 Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qurâan Jakarta Gaya Media Pratama, 2007, 168., lihat juga dalam Abdullah Saeed, al-Qurâan Abad 21,⊠33 91 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH berbasis riwayat dan pendekatan berbasis pada raâyu, dengan pengertian raâyu sebagai segala pertimbangan selain riwayat. Pemaparan tulisan ini berdasarkan pada tipologi yang dibuat oleh Abdullah Saeed, yang membagi pendekatan tafsir al-Qurâan klasik ke dalam empat bentuk, dan ditambah satu pendekatan yang berkembang di era modern-kontemporer, yaitu pendekatan kontekstual. Pendekatan Linguistik. Penggunaan pendekatan linguistik atau kebahasaan memiliki alasan yang kuat, mengingat al-Qurâan merupakan pesan-pesan Allah yang dikemas dalam media bahasa. Cara paling mendasar untuk memecahkan pesan-pesan tersebut adalah mencocokkannya dengan pengetahuan kebahasaan yang secara konvensional telah berlaku dalam kehidupan bangsa Arab. Tanpa bahasa Arab, tak ada yang dapat dipahami dari al-Qurâ pengetahuan kebahasaan untuk menafsirkan al-Qurâan bukan berarti selalu memaknai setiap kata dan kalimat-kalimatnya secara harfiah literal. Orang Arab mengenal mantuq makna tersurat dan mafhum makna tersirat, sehingga pemahaman tidak harus didapat dari kata-kata yang tertulis. Seperti dalam bahasa lain, sebagian lafaz dalam bahasa Arab kadang juga memiliki makna haqiqi literal dan sekaligus majazi metafor. Dalam konteks makna haqiqi, sebuah lafaz ada kemungkinan memiliki makna syarâi legal, urf konvensional dan atau lughawi etimologis sekaligus. Secara literal, kata tangan bermakna salah satu anggota badan, tapi secara metafor, tangan juga bisa bermakna kekuasaan qudrah.Pendekatan Berbasis Logika Ketika suatu lafaz memiliki banyak alternatif makna, mana yang akan dipilih untuk diterapkan dalam memahami suatu ayat? Agar dapat menjawabnya, seorang mufasir harus mengaktifkan seluruh daya pikirnya ijtihad. Apa yang dilakukan oleh kelompok Muâtazilah, yang gemar mengalihkan makna literal ayat menuju makna metafornya, atau yang biasa disebut dengan istilah taâwil, tidak lain hanyalah usaha untuk menjatuhkan pilihan makna yang dianggap paling tepat di antara alternatif makna yang tersedia dalam khazanah bahasa Arab berdasarkan suatu indikator qarinah. Misalnya makna harfiah al- Muhammad bin Salih al-âUthaimin, Syarh Muqaddimah Usul al-Tafsir, Riyad Darul Minhaj, 1432 H, 159 Ataâ bin Khalil, al-Taisir fi Usul al-Tafsir, Beirut Dar al Ummah, 2006, 32 Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qurâan, Beirut Dar al Fikr, 2008, 306 Volume 9, Nomor 1 Februari 2019 92 Qurâan yang dalam kacamata suatu mazhab teologis berimplikasi pada penyematan sifat makhluq kepada Allah SWT antropomisme/tasybih. Barangkali inilah salah satu bentuk pendekatan tafsir berbasis logika yang dipraktekkan dalam tradisi tafsir. Di sini kita dapat menyaksikan pertalian antara pendekatan bahasa dengan logika. Tidak heran jika secara tradisional, penafsiran kebahasaan, seperti Tafsir Jalalain, tercakup pula dalam kategori tafsir bi al- raâ logika kadang juga sering dihubungkan dengan kecenderungan untuk menghubungkan al-Qurâan dengan ilmu pengetahuan atau menjelaskan hal-hal gaib yang tidak bisa dinalar dengan cara tertentu, sehingga tidak bertentangan dengan sains modern. Muhammad Abduh misalnya, memaknai batu-batu dari sijjil yang dibawa oleh burung-burung Ababil sebagai mikrobia atau virus pembawa Berbasis Tasawuf Seorang mufasir yang mendekati al-Qurâan secara mistis melihat ayat-ayat al-Qurâan sebagai simbol atau isyarat, merujuk pada perkara yang melampaui makna kebahasaannya. Dengan kata lain, menurut para pengguna pendekatan ini, al-Qurâan memiliki dua tingkat makna, yakni makna lahir dan makna lahir al-Qurâan adalah makna kebahasaan yang dibahas oleh para mufasir pada umumnya, sedangkan makna batin adalah pesan tersembunyi di balik kata-kata. Makna ini hanya bisa ditangkap melalui penyingkapan kashf yang dialami oleh mereka yang melakukan latihan mental sampai tingkat tertentu hingga Allah memberinya pengetahuan yang bersifat prakteknya, terkait dengan firman Allah [îî·î„îî±îîšî îîîîżîîîîŽîîîîî], menurut Sahl al-Tustari, makna lahir dari âawwala baitâ adalah bangunan pertama yang didirikan untuk beribadah, yakni Kaâbah. Sedangkan makna batinnya adalah Rasulullah saw. Akan beriman kepada beliau siapa saja yang Allah telah menetapkan tauhid di dalam hatinya. Adapun kecenderungan teoritis dalam tafsir-tafsir kaum sufi, termasuk kategori raâyu. Muhammad Husain al-Dhahabi, Ilm al-Tafsir ttp Dar al-Maâarif, tt, h. 67., lihat juga al-âUthaimin, Sharh Muqaddimah Usul al-Tafsir Riyad Dar al-Minhaj, 1432 H, 160 Lihat dalam Abd al-Majid Abd al-Salam al-Muhtasib, Ittijahat al-Tafsir fi al-Asr al-Rahin Aman Maktabah al-Nahdhah al-Islamiyah, 1982, 267 Muhammad Husain al-Dhahabi, Ilm al- Tafsir ttp Dar al-Maâarif, tt, 72 Muhammad Husain al-Dhahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran al-Qurâan Jakarta PT. RajaGrafindo Persada, 1993, 92 93 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH Pendekatan Berbasis Tradisi Riwayah. Riwayat, khususnya hadis Nabi saw, memiliki peranan penting dalam tafsir tradisional. Riwayat dari Rasulullah saw berperan dalam menjelaskan makna al-Qurâan yang global, mengkhususkan hal yang umum, membatasi hal yang mutlak. Riwayat juga menjadi sumber informasi tentang kondisi spesifik yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qurâan sabab al-nuzul yang penting dalam memahami lingkup masalah yang dicakup oleh suatu ayat. Pengetahuan tentang ayat-ayat yang mansukh tak lepas pula dari peranan riwayat dalam penafsiran al-Qurâan. Para ahli tafsir klasik juga memakai penjelasan yang bersumber dari para sahabat dan sebagian tabiâin, sekalipun mereka sadar, besar kemungkinan apa yang diriwayatkan itu merupakan ijtihad raâyu sejauh bukan merupakan ijmaâ mereka. Tidak mengherankan jika di antara mereka yang dinukil penafsirannya itu sering muncul perbedaan pendapat. al-Tabari sendiri, selaku penyusun kitab tafsir bil maâthur paling masyhur, sering mengaktifkan raâyu-nya dalam mentarjih satu pendapat yang dianggapnya benar, seperti saat membahas makna âkursiyâ, dengan memperhatikan kesesuaiannya dengan kalimat-kalimat sebelumnya, dan dengan menghadirkan ungkapan-ungkapan orang Arab, al-Tabari lebih memaknainya dalam arti pengetahuan âilmu yang didasarkan pula pada salah satu riwayat dari Ibnu âAbbas Kontekstual. Pendekatan ini didasarkan pada pandangan bahwa, lafaz-lafaz al-Qurâan diturunkan untuk menjawab persoalan-persoalan spesifik yang dihadapi oleh Nabi saw dan para sahabat di lingkungan mereka dan pada waktu hidup mereka. Terdapat jarak waktu yang sangat jauh antara masa itu dengan hari ini. Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat manusia sudah jauh berbeda, realitas kehidupan manusia pun sudah tidak lagi sama. Oleh karenanya, aturan-aturan hukum yang secara literal ada di dalam al-Qurâan dianggap terikat dalam konteks tertentu, tidak bisa diaplikasikan lepas dari konteksnya. Padahal sebagai wahyu terakhir, al-Qurâan harus senantiasa salih likulli zaman Muhammad Ali al-Hasan, Pengantar Ilmu-Ilmu al-Qurâan Bogor Pustaka Thariqul Izzah, 2007, 57 Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir dalam al-âUthaimin, Syarh Muqaddimah, .. 156. Muhammad bin Jarir al-Tabari, Tafsir al-Tabari, Vol. IV, Giza Dar Hijr, 2001, 540 Volume 9, Nomor 1 Februari 2019 94 wa makan. Untuk itu, pendekatan ini memandang bahwa petunjuk al-Qurâan tidak cukup hanya dicari di dalam teks. Harus ada usaha untuk memahami konteks sejarah saat mana al-Qurâan itu diturunkan, baik keadaan sosial, politik, ekonomi, budayanya, dan lain spesifik yang ingin dipecahkan oleh tiap-tiap hukum dalam al-Qurâan pada konteks tersebut juga harus dipahami; alasan pemberlakuan hukum ratio-legis al-Qurâan atas suatu kasus harus ditangkap, selanjutnya alasan tersebut digeneralisasikan dalam bentuk tujuan-tujuan moral-sosial umum yang kohenren dengan pesan al-Qurâan secara utuh. Tujuan moral-sosial umum itulah yang kemudian dibawa ke masa kini untuk dituangkan dalam rumusan yang sesuai dengan keadaan zaman. Abdullah Saeed menyebutnya sebagai pendekatan kontekstual, dan menambahkan perlunya âkonteks penghubungâ, yakni mempelajari bagaimana generasi sebelumnya mengembangkan tradisi tafsir dalam konteks kesejarahan yang membentang antara hari ini dan masa turunnya al-Qurâ menurut Saeed, pemahaman atas teks al-Qurâan secara tekstual sering gagal melihat pelbagai nilai dan prinsip etis dan moral umum yang hendak ditanamkan oleh al-Qurâan ke dalam pikiran dan hati orang-orang beriman. Nilai-nilai seperti keadilan, kejujuran, dan kesetaraan berperan penting dalam penafsiran teks al-Qurâan dan semestinya diberi perhatian yang di atas memperlihatkan bahwa pendekatan kontekstual mengasumsikan adanya nilai-nilai kebajikan yang secara independen eksis dengan sendirinya, tidak semata ditentukan oleh keputusan hukum secara arbitrer, justru hukum Islam bertumpu di atas nilai-nilai yang sudah ada itu. Tokoh-tokoh modern-kontemporer yang tergolong dalam aliran kontekstualis ini diantaranya adalah Fazlur Rahman, dengan teori double movement-nya, Muhammad al-Talibi dengan konsep al-tafsir al-maqasidi-nya, serta Nasr Hamid Abu Zayd dengan konsep al-tafsir al-siyaqi, dan beberapa sarjana kontemporer lain. Embrio gagasan ini sebenarnya telah disinggung oleh al-Shatibiî w790H dalam karyanya al-Muwafaqat. Ia menyebutnya dengan istilah sabab al-nuzul al-am. Lihat Ibrahim bin Musa al-Shatibi, al-Muwafaqat, Penerbit Dar Ibn Affan, 1997, 154 Fazlur Rahman, Islam and Modernity,... 5-7 Abdullah Saeed, al-Qurâan Abad 21,... 15 Ibid., 40 95 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH Ragam Metode dalam Penafsiran al-Qurâan Kata metode berasal dari bahasa yunani âmethodosâ berarti âcara atau jalanâ. Dalam bahasa Inggris kata ini ditulis âmethodâ dan bahasa Arab menerjemahkannya dengan âmanhajâ. Dalam pemakaian bahasa indonesia kata tersebut mengandung arti âcara yang teratur dan berpikir baik-baik mencapai maksud dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya; yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan mencapai tujuan yang ditentukanâ.Kata tafsir berasal dari bahasa Arab, yaitu fassaara, yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian. Selain itu, tafsir dapat pula berarti al-idlah wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan. Imam al-Zarqani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-Qurâan baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai yang dikehendaki Allah Swt menurut kadar kesanggupan manusia. Selanjutnya Abu Hayyan, sebagaimana dikutip al-Suyuti, mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang didalamnya terdapat pembahasan mengenai cara mengucapkan lafal-lafal al-Quran disertai makna serta hukum-hukum yang terkandung tafsir juga bermakna produk tafsir, atau literatur tafsir. Maka metode tafsir adalah cara yang ditempuh untuk melakukan manafsirkan ayat-ayat al-Qurâan. Tafsir Tahlili Kata tahlili berasal dari bahasa Arab halalla-yuhalillu-tahlilan yang berarti mengurai atau menganalisa. Dengan metode ini, seorang mufasir akan mengungkap makna setiap kata dan susunan kata secara rinci dalam setiap ayat yang dilaluinya dalam rangka memahami ayat tersebut dalam secara koheren dengan rangkaian ayat di sekitarnya tanpa beralih pada ayat-ayat lain yang berkaitan dengannya kecuali sebatas untuk memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap ayat tersebut. Dalam metode ini, penafsir akan memaparkan penjelasan menggunakan pendekatan dan kecenderungan yang sesuai dengan Nasruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Quran, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2002, 54. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2011, 209-211. Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer Yogyakarta LkiS, 2011, 30 Volume 9, Nomor 1 Februari 2019 96 pendapat yang dia adopsi. Pendekatan yang digunakan bisa pendekatan bahasa, rasio, riwayat maupun isyarat. Contoh literatur tafsir yang disusun dengan metode ini antara lain Tafsir al-Tabari, dan Tafsir Ibnu Kathir. Tafsir Ijmali Mufasir menyebutkan rangkaian ayat al-Qurâan yang panjang, atau sekelompok ayat al-Qurâan yang pendek, kemudian menyebutkan maknanya secara umum tanpa panjang lebar maupun terlalu singkat. Dalam hal ini, dia berusaha untuk mengaitkan antara teks al-Qurâan dengan makna, yaitu mengutarakan makna tersebut dengan sesekali menyebutkan teks al-Qurâan yang berkaitan dengan makna-makna itu secara jelas. Di antara kitab tafsir yang disusun dengan cara seperti ini adalah Tafsir Jalalain karya al-Suyuti dan al-Mahalli. Tafsir Muqarin Tafsir Muqarin adalah upaya yang dilakukan oleh mufasir dalam memahami satu ayat atau lebih kemudian membandingkan dengan ayat lain yang memiliki kedekatan atau kemiripan tema tapi redaksinya berbeda, atau memiliki kemiripan redaksi tapi maknanya berbeda, atau membandingkannya dengan teks hadis Nabi, perkataan sahabat, dan tabiâin. Termasuk dalam wilayah tafsir Muqarin adalah mengkaji pendapat para ulama tafsir kemudian membandingkannya, atau bisa berupa membandingkan antara satu kitab tafsir dengan kitab tafsir lainnya agar diketahui identitas corak kitab tafsir tersebut. Tafsir Muqarin juga bisa berupa perbandingan teks lintas kitab samawi seperti Al Qurâan dengan Injil/Bibel, Taurat atau Zabur.Dari penjelasan di atas, nampak jelas sekali bahwa wilayah kajian tafsir Muqarin sangat luas, objek kajiannya juga beragam, dan macam-macam atau modelnya juga beragam. Dalam hal ini bisa diklasifikasikan menjadi 4 empat model atau macam, yaitu Pertama, Perbandingan antar ayat Al Qurâan muqaranah bain al ayat Al Qurâan Dalam model ini, peneliti melakukan kajian mendalam terhadap ayat-ayat yang memiliki kemiripan redaksi namun berbeda dalam maknanya, atau memiliki kemiripan makna/tema tapi redaksinya berbeda. Atau bisa berupa kajian terhadap ayat yang secara lahiriah bertolak belakang pengertian atau maknanya. Dalam hal ini peneliti Samir Abd al-Rahman Rasywani. Manhaj al- Tafsir al-Maudhuâi li al- Qurâan al-Karim Dirasah Naqdiyah Alepo Dar al-Multaqa, 2009, 48-49 Fahd Ar Rumi, Buhuth fi Usul Al -Tafsir wa Manahijuhu, Maktabah al-Tawbah, 1419 H, 60 97 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH harus merujuk kepada penafsiran-penafsiran para ulama, kemudian mencari titik temu, solusi, memberikan dukungan atau kritikan, maupun mencari persamaan dilalah ataupun hikmah-hikmah dibalik kemiripan-kemiripan tersebut. Kedua, Perbandingan antara ayat Al Qurâan dengan teks hadis Nabawi Dalam model ini, peneliti mengkompromikan antara ayat Al Qurâan dengan teks hadis yang secara lahiriah nampak bertentangan atau bertolak belakang. Ketiga, Perbandingan pendapat antar mufassir Dalam model ini, peneliti melakukan kajian mendalam terhadap interpretasi seorang mufasir kemudian membandingkannya dengan mufasir lain lintas madzhab, aliran, latar belakang keilmuan, maupun lintas zaman klasik-pertengahan-modern-kontemporer. Keempat, Perbandingan teks Al Qurâan dengan teks-teks kitab samawi Dalam model ini, peneliti melakukan telaah secara mendalam mengenai satu tema dalam Al Qurâan kemudian membandingkannya dengan tema sejenis dalam kitab-kitab samawi Injil/Bibel, Taurat, Zabur. Dalam proses ini, peneliti berupaya mencari letak kelebihan Al Qurâan dalam kapasitasnya sebagai kitab risalah Nabi terakhir dari kitab samawi terdahulu, mencari beberapa penambahan dan penyimpangan ajaran maupun dalam kisah-kisah kitab samawi terdahulu. Atau bisa juga mencari data yang bertujuan saling melengkapi atau menafsiri antara al-Qurâan dan kitab-kitab samawi Mawdhuâi Salah satu model penelitian al-Qurâan adalah model penelitian tematik, bahkan kajian tematik ini menjadi tren dalam perkembangan tafsir era modern-kontemporer. Sebagai konsekuensinya, seorang peneliti akan mengambil tema mawdhuâ tertentu dalam al-Qurâan. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa dalam al-Qurâan terdapat berbagai tema atau topik, baik terkait persoalan teologi, gender, fiqih, etika, sosial, pendidikan, politik, filsafat, seni, budaya dan lain sebagainya. Namun, tema-tema ini tersebar di berbagai ayat dan surat. Oleh sebab itu, tugas peneliti adalah mengumpulkan dan memahami ayat-ayat yang terkait dengan tema yang hendak diteliti tersebut, baik terkait langsung maupun tidak langsung. Kemudian peneliti melakukan rekonstruksi secara logis dan metodologis untuk menemukan konsep yang utuh, holistik dan sistematis dalam perspektif Ibid., hal. 61 Volume 9, Nomor 1 Februari 2019 98 al-Qurâan. Metode ini diharapkan mampu mengeliminasi gagasan subyektif penafsir, atau setidak-tidaknya, gagasan âekstra quraniâ dapat diminimalisir sedemikian rupa, sebab antara ayat satu dengan ayat yang lain yang terkait dengan tema kajian dapat dianalogkan secara kritis, sehingga melahirkan kesimpulan yang relatif metode tafsir maudhuâi adalah memilih salah satu tema yang dikandung oleh al-Qurâan, kemudian mengumpulkan ayat-ayat dan surat yang berkaitan dengan tema tersebut layaknya menghimpun bagian-bagian badan yang terpisah, kemudian mengikatnya satu sama lain, dengan itu terbentuklah gambaran tema secara utuh sehingga ayat-ayat al-Qurâan akan saling menafsirkan satu sama Corak dalam Penafsiran al-Qurâan Pada abad pertengahan, berbagai corak ideologi penafsiran mulai muncul, yakni pada masa akhir dinasti Umayyah dan awal dinasti Abba>siyah. Momentum ini menemukan masa emasnya terutama pada masa pemerintahan khalifah kelima dinasti Abba>siyah, yaitu Harun al-Rashi>d 785-809 M. Sang khalifah memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh khali>fah berikutnya yaitu al-Makmu>n 813-830 M. Dunia Islam pada saat itu bisa jadi merupakan puncak kemajuan dalam peta pemikiran dan pendidikan serta peradaban, masa ini dikenal dengan zaman keemasan the golden age. Disisi lain, ilmu yang berkembang di tubuh umat Islam selama periode abad pertengahan yang bersentuhan langsung dengan keislaman adalah ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu bahasa, sastra dan filsafat. Karena banyaknya orang yang berminat besar dalam studi setiap disiplin ilmu itu yang menggunakan basis pengetahuanya sebagai kerangka dalam memahami al-Qurâan, serta mencari dasar yang melegitimasi teori-teorinya dari al-Qurâan, maka muncullah kemudian tafsir fiqhi, tafsir iâtiq}a>di, tafsir s}ufi, tafsir ilmi, tafsir falsafi dan corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi Abdul Mustaqim, Metode Penelitian al-Qurâan dan Tafsir, Yogyakarta IDEA Press, 2015, 57 Ibid., 40 Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2008, 61. Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung Tafakur,2009, 20. 99 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH intelektual seseorang mufasir, ketika ia menjelaskan maksud-maksud ayat al-Qurâan. Artinya bahwa kecenderungan pemikiran atau ide tertentu mendominasi sebuah karya tafsir. Kata kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran atau ide tersebut. Kecenderungan inilah yang kemudian muncul ke permukaan pada periode abad tafsir yang berhasil dikaryakan oleh sarjana-sarjana muslim pada masa itu antara lain seperti tafsir Ja>miâ al-Baya>n an Taâwi>l al-A>yat al-Qurâa>nkarya Ibnu Jari>r al-Thabari w 923 M, al-Kasysya>fkarya Zamakhshari w1144 M yang bercorak ideologi Muâtazilah, kemudian Mafa>tih al-Ghaib karya Fakhr al-Di>n al-Ra>zi w1209 M dengan corak teologi sunni, dan Tafsir al-Jala>lain karya al-Mah}}alli w1459 M bersama al-Suyu>ti w1505 M dengan corak lughawi. Muhammad Husein al-Dhahabi mengatakan bahwa setiap orang yang membaca kitab-kitab tafsir dengan berbagai macam corakalwa>n-nya tidak akan memiki keraguan bahwa segala hal yang berkaitan dengan kajian-kajian tafsir tersebut telah dibahas dan dirintis oleh mufasir-mufasir terdahulu al-Aqdamu>n. Adapun corak-corak tafsir yang berkembang dan populer hingga masa modern ini adalah sebagai berikut Corak LughawiCorak lugha>wi adalah penafsiran yang dilakukan dengan kecenderungan atau pendekatan melalui analisa kebahasaan. Tafsir model seperti ini biasanya banyak diwarnai dengan kupasan kata per kata tahli>l al-lafz}, mulai dari asal dan bentuk kosa kata mufrada>t, sampai pada kajian terkait gramatika ilmu alat, seperti tinjauan aspek nah}wu, s}arf, kemudian dilanjutkan dengan qira>âat. Tak jarang para mufasir juga mencantumkan bait-bait syair arab sebagai landasan dan karena itu, seseorang yang ingin menafsirkan al-Qurâan dengan pendekatan bahasa harus mengetahui bahasa yang digunakan al-Qurâan yaitu bahasa arab dengan segala seluk-beluknya, baik yang terkait dengan nah}wu, balaghah dan sastranya. Dengan mengetahui Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2008, 61. Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Maktabah Musâab ibn Umar al-Islamiyah, 2004, 194. Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2008, 87-89 Volume 9, Nomor 1 Februari 2019 100 bahasa al-Qurâan, seorang mufasir akan mudah untuk melacak dan mengetahui makna dan susunan kalimat-kalimat al-Qurâan sehingga akan mampu mengungkap makna di balik kalimat tersebut. Bahkan Ahmad Shurbasi menempatkan ilmu bahasa dan yang terkait nah}wu, s}arf, etimologi, bala>ghah dan qira>âat sebagai syarat utama bagi seorang mufasir. Di sinilah, urgensi bahasa akan sangat tampak dalam penafsirkan al-Qurâan. Diantara kitab tafsir yang menekankan aspek bahasa atau lughah adalah Tafsir al-Jala>lain karya bersama antara al-Suyu>t}i dan al-Mah}alli, Mafatih} al-Ghaib karya Fakhruddin al-Ra>zi, dan lain-lain. Corak Filsafat Di antara pemicu munculnya keragaman penafsiran adalah perkembangan kebudayaan dan pengetahuan umat Islam. Bersamaan dengan itu pada masa Khila>fahAbba>siyah banyak digalakkan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa arab. Di antara buku-buku yang diterjemahkan tersebut adalah buku-buku filsafat, yang pada gilirannya dikonsumsi oleh umat Islam. Corak Ilmiah Corak ini muncul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu muncul usaha-usaha penafsiran al-Qurâan yang sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi. Di samping itu, al-Qurâan juga dianggap dan diyakini mendorong perkembangan ilmu pengetahuan. al-Qurâan mendorong umat Islam untuk memerdekakan akal dari belenggu keraguan, melepaskan belenggu-belenggu berfikir, dan mendorongnya untuk mengamati fenomena alam. Allah taâala telah mendorong kita untuk mengamati ayat-ayat kauniyah, di samping ayat-ayat qurâaniah, oleh karena itu, dalam al-Qurâan kita temukan ayat-ayat seperti îî îî°îœîîźîîšîîîîî îîŹîîœîîîîŠî îîîîîîîîîîîłîîšîŠîîîî îîŻîîîîîîŹîîîČîîî îîî°îœîîșîîîîîîî îîŹîîœîîîîŠî îîîîîîîî î îîłîîšîŠîîîî îîŻîîî îîîîźîîœîîîîžîîîîŒî îŁîłîîîîîîžîîźîîî îîîîŻîî§î îîŒî îîčîîîî±î îî”îîî îîŻîîîîžîîŒîîČîî·î î
îî±îŠîŠîî îîœîîžîîŒîîîîîîŹîîîČîîî îîî°îŒîîłîŠîĄîîîîîîî îîŹîîœîîîîŠî îîîîîîîî îîȘîîîîîîî±î îîŁîîŠîî±îîîîîîîčîČîœîîî Beberapa ayat di atas mendorong manusia untuk berfikir dan memahami al-Qurâan secara mendalam. Keberadaan ayat yang memiliki ketelitian redaksi mengindikasikan bahwa ayat-ayat seperti Ahmad Shurbasi, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qurâan al-Karim, Jakarta Kalam Mulia, Cet. I, 1999, 31 101 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH ini ditujukan bagi kelompok tertentu yang mampu berfikir secara mendalam. Merekalah yang dibebani untuk menyingkapnya karena hanya mereka yang mampu melakukannya, sebagaimana hanya ahli Balaghah-lah yang dapat mengungkap keindahan bahasa al-Qurâan. Dengan semangat ini, bermunculan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat kauniah dengan bertolak dari proposisi pokok-pokok bahasa, berdasarkan kapasitas keilmuan yang mereka miliki dan hasil pemikiran dan pengamatan langsung terhadap fenomena-fenomena alam. Menurut Muhammad Shahru>r, sebagaimana dikutip oleh Abdul Mustaqim, untuk memahami ayat-ayat al-Qurâan yang berisi informasi ilmu pengetahuan diperlukan âtaâwi>l ilmiâ penafsiran secara ilmiah. Dengan demikian, posisi Nabi Muhammad SAW. sebagai Nabi sebenarnya belum melakukan takwil terhadap ayat-ayat al-Qurâan yang berisi informasi ilmu pengetahuan tersebut. Nabi hanya diberi tugas untuk menyampaikannya kepada manusia tanpa menakwilkannya. Kalaupun Nabi melakukan takwil, maka takwil itu merupakan sesuatu yang nisbi, sesuai dengan konteks zamannya. Berangkat dari paradigma ini, penakwilan terhadap al-Qurâan harus dilakukan secara terus menerus sesuai perkembangan dan kemajuan zaman dan ilmu pengetahuan. Asumsi ini berlandaskan pada konsep thaba>t al-nash} wa taghayyur al-muh}tawa> bahwa teks al-Qurâan itu tetap, sedangkan pemahaman mengenai kandungannya bersifat dinamis. Masih menurut Shahru>r, dengan melakukan takwil, seseorang akan dapat membuktikan kemuâjizatan al-Qurâan, tidak saja dari aspek linguistic atau keindahan bahasa, akan tetapi juga dari aspek saintifik dan sisi keilmiahannya. Hal ini karena al-Qurâan tidak hanya untuk orang arab, melainkan untuk seluruh saja, perlu digarisbawahi, bahwa meskipun ayat-ayat al-Qurâan bisa di takwil oleh manusia, namun yang dapat menakwilkan secara sempurna hanyalah Allah, sebab pengetahuan Allah bersifat sempurna dan mutlak, sedangkan hasil takwil yang dilakukan oleh manusia bersifat relatif, karena pengetahuan manusia juga bersifat nisbi. Sebagai konsekuensinya, takwil harus bersifat âsairu>rahâ on Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2008, 128 Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2008, 128 Volume 9, Nomor 1 Februari 2019 102 going process berkembang terus-menerus seiring kemajuan dan perkembangan teori ilmu yang dipercayai gigih dalam mendukung tafsir ilmi adalah al-Ghaza>li w 1111 M. Dalam dua kitabnya, yaitu Ihya>â Ulum al-Di>n dan Jawa>hir al-Qurâan ia banyak mengemukakan pendapatnya beserta alasan-alasan yang juga mengatakan âsegala macam ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu maupun yang kemudian, baik yang telah diketahui maupun belum, semua bersumber dari al-Qurâan al-Kari>mâ.Hal ini menurut al-Ghaza>li, karena segala macam ilmu termasuk dalam afâa>l Allah dan sifat-sifat-Nya, sedangkan al-Qurâan menjelaskan tentang z}at, afâa>l, dan sifat-Nya. Pengetahuan tersebut tidak terbatas, dan di dalam al-Qurâan terdapat isarat-isarat menyangkut prinsip-prinsip terakhir ini, antara lain, dibuktikan dengan mengemukakan ayat, âApabila aku sakit maka Dia-lah yang mengobatikuâ QS 2680. Obat dan penyakit, menurut al-Ghaza>li tidak dapat diketahui kecuali oleh orang yang berkecimpung di bidang kedokteran. Dengan demikian, ayat di atas merupakan isarat tentang ilmu lain adalah Fakhruddin al-Ra>zi, 1209 M, meskipun ia tidak sepenuhnya sependapat dengan al-Ghaza>li, namun dalam kitabnya, Mafa>tih} al-Ghaib, ia banyak melakukan pembahasan ilmiah menyangkut filsafat, teologi, ilmu alam, astronomi, kedokteran, dan sebagainya. Sampai-sampai, kitab tafsirnya tersebut dinilai secara berlebihan sebagai mengandung segala sesuatu kecuali lainnya adalah T}ant}a>wi Jauhari 1870-1940 dalam karyanya Tafsi>r al-Jawa>hir, bahkan sebelumnya, Muhammad Rashi>d Rid}a 1865-1935 dengan Tafsir al-Mana>r-nya, dinilai berusaha juga membuktikan hal tersebut. Menurut penilaian Ignaz Goldziher, ia berusaha membuktikan bahwa al-Qurâan mencakup segala hakikat Syahrur, al-Kitab wa al-Qurâan ; Qiraâah Muâashirah, Damaskus al-Ahali li al-Thibaâah al-Nasyr wa al-Tauziâ, 1992, 60. Quraish Syihab, Membumikan al-Qurâan Bandung PT. Mizan Pustaka, 2007, 154. Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Kairo al-Tsaqafah al-Islamiyah,1356 H, 301. Al-Ghazali, Jawahir al-Qurâan, Mesir, Percetaka Kurdistan,tt, 31-32. Quraish Syihab, Membumikan al-Qurâan, Bandung PT. Mizan Pustaka, 2007, 155. Ibid. 103 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH ilmiah yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer pada masanya, khusunya di bidang filsafat dan Fikih Sebagaimana corak-corak lain yang mengalami perkembangan dan kemajuan dengan berbagai macam kritik dan pro kontranya, corak fiqhi merupakan corak yang berkembang. Tafsir fiqhi lebih popular disebut tafsir aya>t al-Ahka>m atau tafsir ahka>m karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam al-Qurâ dari sisi pro-kontranya, tafsir corak fiqhi merupakan jenis corak yang banyak diterima hampir semua mufasir. Tafsir ini berusia sudah sangat tua, karena kelahirannya bersamaan dengan kelahiran tafsir al-Qurâan itu sendiri. Banyak sekali judul kitab yang layak untuk disebutkan dalam deretan daftar nama-nama kitab tafsir aya>t al-Ahka>m, baik dalam bentuk tahli>li maupun maud}uâi, antara lain Ahka>m al-Qurâa>n karya al-Jas}s}a>s} 917-980 M, seorang faqi}hmaz}hab Hanafi. Ahka>m al-Qurâa>n karya ibn al-Ara>bi 1075-1148 M. al-Ja>miâ li ahka>m al-Qurâa>n karya al-Qurt}u>bi w1272 M. ahka>m al-Qurâankarya al-Sha>fiâi w 204 H.. dan masih banyak lagi karya tafsir di bidang fikih atau Tafsir Ahka>m. Contoh tafsir fiqhi antara lain adalah kalimat îŻîĄîšîĄîČî·îŒî dalam masalah wudhuâ yang terdapat dalam surah al-Maidah ayat 6. Jika dibaca mans}ubfath}ah maka yang wajib dilakukan pada kaki ketika berwudhuâ adalah membasuh bukan mengusap. Akan tetapi jika majrurkasrah maka yang wajib hanya Tasawuf Menurut Quraish Shihab, corak ini muncul akibat munculnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. Disamping karena dua faktor yang dikemukakan oleh Qurais Shihab di atas, faktor lain adalah karena berkembangnya era penerjemahan karya-karya filsafat Yunani di dunia Islam, maka muncul pula tafsir-tafsir sufi falsafi. Antara lain adalah Tafsi>r al- Ibid. Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung Tafakur,2009, 200. Ibid, 201. Abu Abdillah al-Qurt}ubi, al-Jamiâ li Ahkam al-Qurâan, Bairut, Lebanon Dar al-Kutub al-Araby, Cet. V, 2003 Jilid. 6 hal. 90 Quraish Syihab, Membumikan al-Qurâan Bandung PT. Mizan Pustaka, 2007, 108. Volume 9, Nomor 1 Februari 2019 104 Qurâa>n karya Sahal ibn Abdillah al-Tusta>ri w 283H. Tafsir ini dinilai oleh sebagian orang tidak memuaskan karena tidak lebih dari 200 halaman dan tidak lengkap mengapresiasi al-Qurâan 30 muncul pula Haqa>iq al-Tafsi>rkarya Abu Abdurrahman al-Sulami> w 412 H. Namun tafsir ini dinilai oleh Ibnu S}alah} dan al-Dhahabi sebagai tafsir yang banyak mengadung kecacatan, bahkan dituduh banyak bidâah, berbau shiâah dan banyak memuat hadis palsu maud}u>â. Demikian pula al-Dhahabi dalam kitab Taz}kirah al-Huffa>z}pernah berkomentar bahwa kitab Haqa>iq al-Tafsi>rbanyak terdapat takwil kaum bat}i>ni>. Ibnu Taimiyah dalam kitab Minha>j al-Sunnah menyatakan bahwa kitab tersebut banyak dusta. Ada juga pula Lat}a>if al-Isha>ra>t karya Abd al-Karim ibn Hawa>zin ibn Abd al-Ma>lik ibn T}alh}ah ibn Muhammad al-Qushairi> 374 H- 465 H. Kitab ini dinilai positif oleh para ulama karena penafsirannya tidak menyimpang dan selalu berusaha mempertemukan antara dimensi syariat dan hakikat, antara lain makna lahir dan batin. Selain itu, tafsir tersebut relatif steril dari pembelaan ideologi maz}hab. Corak al-Adabi wa al-Ijtima>âial-Adabi wa al-Ijtima>âi terdiri dari dua kata, yaitu al-Adabi dan al-Ijtima>âi. Corak tafsir yang memadukan filologi dan sastra tafsir adabi, dan corak tafsir kemasyarakatan. Corak tafsir kemasyarakatan ini sering dinamakan juga ijtima>âi. Kata al-Adabi dilihat dari bentuknya termasuk mas}darinfinitif dari kata kerja mad}i aduba, yang berarti sopan santun, tata krama dan sastra. Secara leksikal, kata tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. Oleh karena itu, istilah al-adabi bisa diterjemahkan sastra budaya. Sedangkan kata al-Ijtima>âi bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan/sosial. Jadi secara etimologis tafsir al-Adabi al-Ijtima>âi adalah tafsir yang berorientasi pada sosial- kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural. Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Jakarta Pustaka Pelajar, 2008, 62. Ibid. Ibid. M. Karman Supiana, Ulumul Qurâan Bandung PUSTAKA ISLAMIKA, 2002, 316-317. 105 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH Kepopuleran corak ini dimulai pada masa Syaikh Muhammad Abduh 1849-1905. Corak tafsir al-Adabi al-Ijtima>âi adalah corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qurâan yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit masyarakat atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah indah corak penafsiran al-Adabi al-Ijtima>â adalah corak penafsiran yang berorientasi pada budaya kemasyarakatan. Suatu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qurâan pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia. Simpulan Pendekatan tafsir merupakan cara yang ditempuh oleh mufasir dalam mengungkap makna-makna al-Qurâan, yang oleh Abdullah Saeed dibagi ke dalam lima bentuk, yaitu pendekatan berbasis linguistik, pendekatan berbasis nalar-logika, pendekatan berbasis riwayat, pendekatan berbasis tasawuf, serta pendekatan kontekstual. Metode penafsiran al-Qurâan merupakan cara yang digunakan penafsir untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qurâan, antara lain ijmali, tahlili, muqarin dan maudhuâi. Di samping itu, juga ada ragam corak kecenderungan dalam penafsiran al-Qurâan, seperti corak lughawi, sufi, fikih, filsafat, sosial dan lain-lain. Menurut Abdullah Saeed, secara alamiah, banyak hal yang tumpang tindih dalam pemetaan di atas, yang kemudian memunculkan pertanyaan mana yang lebih dominan dalam satu karya tafsir al-Qurâan. Menurutnya, pemetaan ini disuguhkan hanya untuk kepentingan analisis saja. Quraish Syihab, Membumikan al-Qurâan Bandung PT. Mizan Pustaka, 2007, 108. Ibid. Volume 9, Nomor 1 Februari 2019 106 Daftar Pustaka Muhtasib al, Abd al-Majid Abd al-Salam, Ittijahat al-Tafsir fi al-Asr al-Rahin, Aman Maktabah al-Nahdhah al-Islamiyah, 1982. Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta LkiS, 2011. Saeed, Abdullah, al-Qurâan Abad 21 Tafsir Kontekstual, Bandung Mizan, 2016. Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2011. Uthaymin al, Muhammad Salih, Sharh Muqaddimah Ushul al-Tafsir, Riyad Darul Minhaj, 1432 H. Ghazali al, Abu Hamid Muhammad, al-Mustashfa fi Usul al-Fiqh, Beirut Dar al-Kutub al-âIlmiyah, 2008. Suyuti al, Jalal al-Din Abd. al-Rahman, al-Itqan fi Ulum al-Qurâan, Beirut Dar al-Fikr, 2008. Khalil, Ataâ ibn, al-Taisir fi Usul al-Tafsir, Beirut Dar al-Ummah, 2006. Rahman, Fazlur, Islam and Modernity,Chicago University of Chicago Press, 1982. Hanafi, Hasan, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, Yogyakarta Nawesea, 2007. Shatibi al, Ibrahim ibn Musa, al-Muwafaqat, Penerbit Dar Ibn Affan, 1997. Qatttan al, Manna Khalil, Studi Ilmu-Ilmu al-Qurâan, Jakarta Litera AntarNusa, 2001. Hasan Muhammad Ali, Pengantar Ilmu-Ilmu al-Qurâan, Bogor Pustaka Thariqul Izzah, 2007. Tabari al, Muhammad bin Jarir, Jamiâ al-Bayan fi Taâwil Ayi al-Qurâan, Vol. IV, Gaza Dar Hijr, 2001. Dhahabi al, Muhammad Husain, Ilm al-Tafsir, ttp Dar al-Maâarif, ___________________________, Penyimpangan-Penyimpangan dalam Penafsiran al-Qurâan, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 1993. Baidan, Nasaruddin, Metode Penafsiran al-Quran, Yogjakarta Pustaka Pelajar, 2002. Wielandt, Rotraud, Tafsir Al-Qurâan, Masa Awal, Modern dan Kontemporer. Jurnal Taswirul Afkar, 2004. Rashwani, Samir Abd al-Rahman, Manhaj al-Tafsir al-Mawdhuâi li al-Qurâan al-Karim, Alepo Dar al-Multaqa, 2009. 107 Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH Abidu, Yunus Hasan, Tafsir al-Qurâan Jakarta Gaya Media Pratama, 2007. ... Menurut Al-Farmawi, tafsir maudhu'i merupakan suatu pola penafsiran yang diawali dengan mengumpulkan ayat Al-Qur'an yang memiliki tujuan dan arti tentang suatu topik, kemudian disusun berdasarkan masa turun ayatnya serta memperhatikan konteks historis ayat tersebut, seperti asbab an-nuzul nya kemudian diberikan penjelasan dan uraian, serta komentar akan pokok kandungan ayatnya Sja'roni, 2014. Maka, para mufasir masa kini kemudian akan mengambil suatu topik tertentu di dalam Al-Qur'an pada sejumlah ayat dan surat Kusroni, 2019. Tafsir maudhu'i menjadi salah satu metodologi tafsir yang lazim digunakan oleh mufasir masa kini Siregar, 2018. ...Muhammad Hasan Ali Dadan RusmanaEveryone must have got the measure of sustenance from Allah swt.. However, sometimes some of them subconsciously invest in unnecessary material possessions. The study would be exploring the concept of superfluous in the qur'an. Research methods used are a qualitative kind through library studies with content analysis. The final outcome about the discussions of this research will mentions a general view of waste, a verse about superfluous in the qur'an, and useless analysis of the verse. The final conclusion of this study represent that it is costly to waste, and these waste forms could include possessions, food, drink, and excessive use of other necessities. There are several ways to avoid the wasteful behavior given by clerics. The study recommends the importance of avoiding wasteful behavior so that avoid the harmful effects of being a brother to devil.... Guna menafsirkan teks hukum, Hukum Islam juga menyediakan aneka metode berijtihad baik berupa metode interpretasi maupun metode argumentasi. Teks al-Qur'an maupun as-Sunah dapat ditafsirkan antara lain secara historis, yakni dengan memahamai asbabun nuzul al-Qur'an dan asbabul wurud al-Hadis, ditafsirkan secara teleologis atau mendasarkan pada tujuan, yakni dengan mendasarkan pada maqashid syariah dan hukum Islam juga menyediakan kerangka argumentasi berupa metode qiyas atau yang dapat diartikan sebagai analogi Kusroni, 2019. Harmonisasi dilakukan guna mendapatkan sinkronisasi dan koherensi antara aturan yang akan dibentuk dengan aturan-aturan lain yang sudah ada, sehingga dengan dibentuknya aturan baru dalam hal ini POJK/SEOJK yang mendasarkan pada fatwa in line dengan aturan-aturan lain dan sekaligus praktik di lembaga keuangan. ...Khotibul Umam Vina Berliana KimberlyPenelitian ini bertujuan menganalisis peran Komite Pengembangan Jasa Keuangan Syariah dalam interpretasi dan harmonisasi fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia DSN-MUI guna memberikan rekomendasi bagi pembentukan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan POJK di bidang keuangan syariah, serta prinsip hukum yang dijadikan sebagai dasar bagi realisasi peran dimaksud. Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan 1 Peran KPJKS dalam melakukan interpretasi dan harmonisasi fatwa DSN-MUI bagi pembentukan POJK di bidang keuangan syariah, yakni memberikan rekomendasi bagi OJK; dan 2 Prinsip hukum yang dijadikan sebagai dasar bagi realisasi peran dimaksud guna menghasilkan rekomendasi, yakni prinsip kemaslahatan.... 10 Kitab al-QusyairÄ« ini mendapatkan respon yang cukup positif jika dibandingkan dengan karya gurunya. 17 Al-QusyairÄ« merupakan seorang mufassir yang hidup pada abad ke 5 H/11 M. Ia memiliki dua produk tafsir yang dikarang sebelum dan sesudah mengenal tasawuf, tafsir yang karang olehnya sebelum mengenal tasawuf diberi judul al-TaisÄ«r fÄ« 'ilm al-TafsÄ«r diselesaikan sebelum tahun 410 H. Kitab Tafsir ini murni menggunaan metode eksoterik yang menggunakan pendekatan analisis bahasa, asbÄb al-nuzĆ«l, fiqh dan kalam. Tafsir yang kedua adalah LaáčÄ'if al-IsyÄrÄt yang diselesaikan sekitar tahun 434 H. Tafsir ini ditulisnya setelah mengenal dan belajar tasawuf dari para gurunya. ...Naryono NaryonoThis study examines the verses of tasybÄ«h according to Abd al-KarÄ«m al-QusyairÄ« such as Arsy AllÄh, Yad AllÄh, and Wajh AllÄh. The question that will be discussed is how al-QusyairÄ« interprets the verses of tasybÄ«h in LaáčÄâif al-IsyÄrÄt. To get maximum results, the authors use descriptive-analytical methods, data are collected and compiled then analyzed. The primary source in this study is LaáčÄâif al-IsyÄrÄt, by Abd al-KarÄ«m al-QusyairÄ«. The secondary sources are the books of al-QusyairÄ« such as RisÄlah al-QusyairÄ«yah, Tartib al-SulĆ«k, Arbaâ RasÄâil fÄ« al-TaáčŁawuf. The results of this study indicate that 'Arsy according to al-QusyairÄ« is divided into two, namely 'Arsy al-SamÄ' where Allah resides and 'Arsy RahmÄn 'Arsy earth located in the hearts of the ahl al-Tauhid people those who insult Allah, whereas for the words Yad AllÄh, and Wajh AllÄh are ordained with the power held by SujaiArtikel ini membahas pendekatan studi tafsir kontemporer yang bercorak kritis dan transformatif. Kritisisme pendekatan tafsir kontemporer menempatkan produk penafsiran klasik bukan sebagai kebenaran mutlak, tetapi sebagai produk zaman yang perlu dikaji ulang. Pendekatan tafsir kontemporer menekankan transformasi makna untuk kepentingan transformasi umat dan memecahkan problem yang muncul berkembang dalam masyarakat muslim. Ada dua pertanyaan utama dalam artikel ini Pertama, bagaimana metode pendekatan studi tafsir kontemporer. Kedua, bagaimana varian pendekatan tafisr kontemporer. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif. Sumber data diperoleh melalui telaah kepustakaan, yakni sumber primer berupa buku-buku dan artikel yang terkait dengan studi tafsir kontemporer. Artikel ini menemukan; Pertama, pendekatan tafsir kontemporer menggunakan metodologi kontemporer multidisip di bidang sosial-humaniora. Kedua, metode tafsir kontemporer memiliki varian pendekatan seperti historis-kritis, sosiologis, hermeneutika dan Nadiyah SalmaLaili Mas Ulliyah HasanKhowarizmi Abdul Karim Uril BahruddinLearning the interpretation of the Qur'an more precisely on thematic interpretation material, still faces obstacles in the field, including not being able to produce output that can use interpretation well. The purpose of this research is to understand 1 the application of a communicative approach in learning interpretation of Qurâan at Al Jihad Islamic Boarding School Surabaya for female, 2 the obstacles faced by teachers in applying a communicative approach in learning interpretation of Qurâan at Al Jihad Islamic Boarding School Surabaya fro female. This research uses a qualitative approach with a descriptive type of research. Research data were collected through interviews, observation, and documentation. Data analysis was carried out using Miles and Huberman's model, are 1 data collection, 2 data reduction, 3 data presentation, 4 concluding. The results showed that the application of the communicative approach through several steps, there are short dialogues, exercises, questions, communicative expressions, analysis and concluding, then evaluation. And also there several obstacles in the application of the communicative approach, it is the lack of confidence in students in expressing the results of thematic interpretations orally in Arabic, there are difficulties in developing the delivery of some material into a communicative approach, and the last is the lack of time available for learning interpretation of holy Qurâan. The conclusion of this study shows that a communicative approach is needed in learning interpretation of holy Qurâan on thematic interpretation material to be more al-MaqÄáčŁidÄ« is a topic of research within the field of Quranic exegesis. The researchers of Quranic exegesis are actively discussing this field of knowledge. It is considered a means of ensuring that Islamic scholars remain steadfast in their interpretation of the verses of the Quran based on MaqÄáčŁid al-ShÄriÊż Purpose of order from Allah rather than on their own lusts or desires. Despite the vibrancy of research on Al-TafsÄ«r al-MaqÄáčŁidÄ«, the theory's construction requires ongoing research, and there is currently no thematic review of the scope of studies conducted on this subject. Therefore, the purpose of this thematic review is to synthesise the literature on the research scope of al-TafsÄ«r al-MaqÄáčŁidÄ« using 8. This study employs two research methodologies i Quantitative methodology, which involves numerical data; and ii Qualitative methodology, which relies on the thematic analysis related to the studyâs scope, al-TafsÄ«r al-MaqÄáčŁidÄ«. A keyword search followed by an inclusion criteria filter from Google Scholar, Research Gate, and Mendeley databases successfully identified 92 literary works. However, after the inclusion and exclusion criteria were applied, only 68 papers were selected for review. The thematic review conducted in this study identified 86 initial codes characterising the research scope of al-TafsÄ«r al-MaqÄáčŁidÄ«, which were then classified into 12 clusters. These clusters can be classified into two categories concept clusters and application clusters. The studyâs findings discovered that while the effort to construct the theory of al-TafsÄ«r al-MaqÄáčŁidÄ« has long been undertaken, it has not been considered mature. In terms of application, the application of al-TafsÄ«r al-MaqÄáčŁidÄ« to contemporary issues is the most popular scope of the study. The findings of this study may benefit future research by addressing research gaps that have not been addressed in order to complete this branch of Quranic MillatiMisogynistic interpretation of women on their menstruation period as "a dirt" that emerged from pre-Islamic Arab society and some classical commentators opened vast space for critics. One of the critics is the interpretation of al-Baqarah verse 222 as an effort to maintain reproduction health. This paper compares the interÂpretation of al-Baqarah verse 222 in TafsÄ«r al-MiáčŁbaáž„ by Quraish Shihab, and TafsÄ«r al-Taáž„rÄ«r wa al-TanwÄ«r, by Ibn 'ÄshĆ«r. These two interpretations are taken because they have relatively similar interpretations when interpreting al-Baqarah verse 222, even though the author's historical setting is different. With the comparative method and theory of qirÄâah mubÄdalah, this paper answers how the interpretation of Quraish Shihab and Ibn 'ÄshĆ«r on al-Baqarah verse 222 and how the linearity of that interÂpretation is. This paper finds, firstly, that Quraish Shihab and Ibn 'ÄshĆ«r agree in interpreting al-Baqarah verse 222 with the prohibition of intercourse, while the wife is on her period to maintain reÂproduction health and interpret adhÄ as an uncomfortable condition. It's just that Quraish Shihab defines adhÄ as disturÂbance, while Ibn 'ÄshĆ«r means al-ážarr injury or danger. Secondly, the two interpretations use a reciprocal paradigm with the evidence of the meaning of adhÄ as a disturbance or risk that can be occurred both women and Qurrota AiniBarokah has been around for a long time even though it does not appear to be about its form, but everyone must feel the sweetness of barokah. The problem is that barokah has experienced a decline and has even begun to become extinct because its existence is not clearly visible. That is caused by the lack of public awareness of the power of Allah, so that it depends on the progress of science and technology at this time. Therefore, the author examines the interpretation of Nouman Ali Khan through Youtobe which contains a discussion of baraka as a form of recommendation to the public that the interpreter is very suitable to be studied at the present time. This article includes thematic methods maudhu'i as well as patterns of adab ijtima'i with a linguistic approach, so that the discussion presented by Nouman Ali Khan can be used as a basis for knowing, understanding and changing the paradigm of society through cognitive effects, affective effects, and behavioral SyihabQuraish Syihab, Membumikan al-Qur'an, Bandung PT. Mizan Pustaka, 2007, MustaqimAbdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Jakarta Pustaka Pelajar, 2008, SupianaM. Karman Supiana, Ulumul Qur'an Bandung PUSTAKA ISLAMIKA, 2002, al, Muhammad Salih, Sharh Muqaddimah Ushul al-TafsirAbudin NataMetodologi Studi IslamNata, Abudin, Metodologi Studi Islam, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2011. Uthaymin al, Muhammad Salih, Sharh Muqaddimah Ushul al-Tafsir, Riyad Darul Minhaj, 1432 Rotraud, Tafsir Al-Qur'an, Masa Awal, Modern dan KontemporerNasaruddin BaidanMetode Penafsiran Al-QuranBaidan, Nasaruddin, Metode Penafsiran al-Quran, Yogjakarta Pustaka Pelajar, 2002. Wielandt, Rotraud, Tafsir Al-Qur'an, Masa Awal, Modern dan Kontemporer. Jurnal Taswirul Afkar, 2004.
Sehinggacorak tafsirnya menjadi adalah sastra kemasyarakatan (adabi Ijtimai), metodenya tahlily dan meng- gabungkan antara riwayat dan penggunaan akal (ra'yu). Sebagai kitab tafsir kedaerahan, mufassirnya Mohammad E. Hasim telah berhasil menampilkan sisi kedaerahan yang sesuai dengan kebutuhan ma- syarakat, jawaban terhadap permasalahan yang
Tipologi Kajian Tafsir Metode, Pendekatan dan Corak dalam Mitra Penafsiran al-QurâanTipologi Kajian Tafsir Metode, Pendekatan dan Corak dalam Mitra Penafsiran al-QurâanTulisan ini mengkaji tentang metode, pendekatan dan corak tafsir Alquran. Adapun metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode deskriptif-kualitatif. Tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui makna-makna dari metode, pendekatan dan corak ketika hendak melakukan penelitian tafsir, untuk mengupas tentang metode, pendekatan dan corak dalam tafsir Alquran. Dari pembahasan dalam tulisan ini, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pertama, metode tafsir adalah suatu cara, langkah-langkah ataupun kerangka yang harus ditempuh ketika melakukan penafsiran Alquran, sehingga dalam hal ini terdapat beberapa metode penafsiran Alquran, yaitu; metode tafsir tahlili, ijmali, muqaran, maudhuâiy dan hermeneutika. Kedua; pendekatan tafsir adalah sudut pandang dari prosesnya tafsir dan dari pendekatan itu akan membuahkan corak, sehingga antara pendekatan dan corak tafsir itu saling keterkaitan antara keduanya. Adapun pendekatan dalam tafsir adalah pendekatan tekstual, kontekstual, bahasa, histor...
Munculnyacorak-corak penafsiran Al-Qur'an di satu sisi berkaitan dengan dinamika keilmuan di kalangan umat Islam, dan di sisi lain bersinggungan dengan tantangan dari luar. Sebagai contoh (lihat: Quraish Shihab, 1992: 72-3; Husain adz-Dzahabi II, 1976: 632-3), corak sastra bahasa timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama
MengutipHikmah dalam Tafsir Ibnu Katsir (2020: 48), Ibnu Katsir yang dilahirkan pada 701 H merupakan pakar terkemuka dalam bidang ilmu tafsir, ilmu hadis, sejarah, dan fikih. Beliau berguru pada Burhanuddin al-Fazari, seorang ulama terkemuka dalam Mazhab Syafi'i. Oleh sebab itu keilmuannya tidak diragukan lagi.
Dalamstudi tafsir, setidaknya terdapat empat metode yang cukup populer dikalangan mufassir. Pertama, Metode Tahlili (Analitis) Metode Tahlili adalah metode tafsir yang ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai tata urutan mushaf Utsmani dengan penjelasan yang cukup terperinci. Menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur'an dari keseluruhan
CorakTafsir 'Ilmi (Ilmiah) Tafsir 'ilmi adalah penafsiran Alquran yang menggunakan pendekatan ilmiah atau menggali kandungan Alquran berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan. Tafsir ini berusaha keras untuk melahirkan berbagai cabang ilmu yang berbeda dan melibatkan pemikiran-pemikiran filsafat.
TafsirIlmi; Metode dan Sejarah Perkembangannya. by Arif Irham Hakim. 16/06/2022. 0. A A. 43. VIEWS. Majalah Nabawi - Dalam sejarah perkembangan tafsir tercatat bahwa penafsiran al-Quran selama ini mengalami perkembangan secara pesat. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor seperti adanya perubahan dan perkembangan zaman yang menghendaki