Dalamperiodisasi sastra ia dikelompokkan ke dalam Sastrawan Angkatan 66. Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 25 Juni 1935 dari pasangan A. Gaffar Ismail (1911-1998) asal Banuhampu, Agam dan Sitti Nur Muhammad Nur (1914-1982) asal Pandai Sikek, Tanah Datar, Sumatera Barat. Ayahnya adalah seorang ulama dan pendiri PERMI.

MATA INDONESIA, JAKARTA – Siapa yang tak kenal Taufiq Ismail. Dia adalah penyair dan sastrawan besar Tanah Air yang telah menelurkan banyak karya-karya hebat, terutama puisi-puisi yang lahir dari pikirannya yang tajam. Penyair kelahiran 25 Juni 1935 ini sangat dihormati. Puisinya berjudul Sajadah Panjang sudah akrab bagi rakyat Indonesia. Namun, selain Sajadah Panjang, masih ada beberapa puisi hebat karya Taufik Ismail, 5 di antaranya berikut ini. 1. Kembalikan Indonesia Padaku Paris, 1971 Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bolayang bentuknya seperti telur angsa, Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya, Kembalikan Indonesia padaku Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat, Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya, Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat, sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan, Kembalikan Indonesia padaku Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa, Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya, Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, Kembalikan Indonesia padaku. 2. Malu Aku Jadi Orang Indonesia 1998 I Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga Ke Wisconsin aku dapat beasiswa Sembilan belas lima enam itulah tahunnya Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya, Whitefish Bay kampung asalnya Kagum dia pada revolusi Indonesia Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya Dadaku busung jadi anak Indonesia Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy Dan mendapat dari Rice University Dia sudah pensiun perwira tinggi dari Army Dulu dadaku tegap bila aku berdiri Mengapa sering benar aku merunduk kini II Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak Hukum tak tegak, doyong berderak-derak Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak, Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza Berjalan aku di Dam, Champs 0‡7lys¨¦es dan Mesopotamia Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata Dan kubenamkan topi baret di kepala Malu aku jadi orang Indonesia. III Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu, Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicari tandingan, Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu, Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan, senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk kantung jas safari, Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal, anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden, menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati, agar orangtua mereka bersenang hati, Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan, Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak utus dilarang-larang, Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat belanja modal raksasa, Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah, ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat, Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi, Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman, Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja, fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar, Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror penonton antarkota cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor pertandingan yang disetujui bersama, Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja, Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng, Nipah, Santa Cruz dan Irian, ada pula pembantahan terang-terangan yang merupakan dusta terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan, dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai saksi terang-terangan, Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi. IV Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak Hukum tak tegak, doyong berderak-derak Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak, Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza Berjalan aku di Dam, Champs 0‡7lys¨¦es dan Mesopotamia Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata Dan kubenamkan topi baret di kepala Malu aku jadi orang Indonesia. 3. Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini 1966 Tidak ada pilihan lain Kita harus Berjalan terus Karena berhenti atau mundur Berarti hancur Apakah akan kita jual keyakinan kita Dalam pengabdian tanpa harga Akan maukah kita duduk satu meja Dengan para pembunuh tahun yang lalu Dalam setiap kalimat yang berakhiran Duli Tuanku ?¡ Tidak ada lagi pilihan lain Kita harus Berjalan terus Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan Dan seribu pengeras suara yang hampa suara Tidak ada lagi pilihan lain Kita harus Berjalan terus. 4. Mencari Sebuah Mesjid Jeddah, 1988 Aku diberitahu tentang sebuah masjid yang tiang-tiangnya pepohonan di hutan fondasinya batu karang dan pualam pilihan atapnya menjulang tempat tersangkutnya awan dan kubahnya tembus pandang, berkilauan digosok topan kutub utara dan selatan Aku rindu dan mengembara mencarinya Aku diberitahu tentang sepenuh dindingnya yang transparan dihiasi dengan ukiran kaligrafi Quran dengan warna platina dan keemasan berbentuk daun-daunan sangat beraturan serta sarang lebah demikian geometriknya ranting dan tunas jalin berjalin bergaris-garis gambar putaran angin Aku rindu dan mengembara mencarinya Aku diberitahu tentang masjid yang menara-menaranya menyentuh lapisan ozon dan menyeru azan tak habis-habisnya membuat lingkaran mengikat pinggang dunia kemudian nadanya yang lepas-lepas disulam malaikat menjadi renda-renda benang emas yang memperindah ratusan juta sajadah di setiap rumah tempatnya singgah Aku rindu dan mengembara mencarinya Aku diberitahu tentang sebuah masjid yang letaknya di mana bila waktu azan lohor engkau masuk ke dalamnya engkau berjalan sampai waktu asar tak bisa kau capai saf pertama sehingga bila engkau tak mau kehilangan waktu bershalatlah di mana saja di lantai masjid ini, yang luas luar biasa Aku rindu dan mengembara mencarinya Aku diberitahu tentang ruangan di sisi mihrabnya yaitu sebuah perpustakaan tak terkata besarnya dan orang-orang dengan tenang membaca di dalamnya di bawah gantungan lampu-lampu kristal terbuat dari berlian yang menyimpan cahaya matahari kau lihat bermilyar huruf dan kata masuk beraturan ke susunan syaraf pusat manusia dan jadi ilmu yang berguna di sebuah pustaka yang bukunya berjuta-juta terletak di sebelah menyebelah mihrab masjid kita Aku rindu dan mengembara mencarinya Aku diberitahu tentang masjid yang beranda dan ruang dalamnya tempat orang-orang bersila bersama dan bermusyawarah tentang dunia dengan hati terbuka dan pendapat bisa berlainan namun tanpa pertikaian dan kalau pun ada pertikaian bisalah itu diuraikan dalam simpul persaudaraan yang sejati dalam hangat sajadah yang itu juga terbentang di sebuah masjid yang mana Tumpas aku dalam rindu Mengembara mencarinya Di manakah dia gerangan letaknya ? Pada suatu hari aku mengikuti matahari ketika di puncak tergelincir dia sempat lewat seperempat kuadran turun ke barat dan terdengar merdunya azan di pegunungan dan aku pun melayangkan pandangan mencari masjid itu ke kiri dan ke kanan ketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungan dia berkata Inilah dia masjid yang dalam pencarian tuan¡ dia menunjuk ke tanah ladang itu dan di atas lahan pertanian dia bentangkan secarik tikar pandan kemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran airnya bening dan dingin mengalir beraturan tanpa kata dia berwudhu duluan aku pun di bawah air itu menampungkan tangan ketika kuusap mukaku, kali ketiga secara perlahan hangat air terasa, bukan dingin kiranya demikianlah air pancuran bercampur dengan air mataku yang bercucuran. 5. Benteng 1966 Sesudah siang panas yang meletihkan Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas Dan kita kembali ke karnpus ini berlindung Bersandar dan berbaring, ada yang merenung Di lantai bungkus nasi bertebaran Dari para dermawan tidak dikenal Kulit duku dan pecahan kulit rambutan Lewatlah di samping Kontingen Bandung Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana Semuanya kumal, semuanya tak bicara Tapi kita tldak akan terpatahkan Oleh seribu senjata dari seribu tiran Tak sempat lagi kita pikirkan Keperluan-keperluan kecil seharian Studi, kamar-tumpangan dan percintaan Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam.

Beranda» Wawasan » Pokok dan Tokoh » Taufik Ismail. Taufik Ismail. Selasa, 30/06/2009 - 02 Pada April 1993 ia membaca puisi tentang Syekh Yusuf dan Tuan Guru, para pejuang yang dibuang VOC ke Afsel 3 abad (1977), South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994). 2 kali ia
GuruMesti Baca Karya Sastra Terkini. Jumat, 25/11/2011 - 16:24 — Hikmat. Tanahdatar | Sumatera Barat | Rumah Puisi Taufik Ismail di Aie Angek, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanahdatar, Sumatera Barat, kembali menggelar pelatihan membaca, menulis dan apresiasi sastra (MMAS), Jumat (16/9) hingga Rabu (28/6).
Cermatikarya puisi berikut! Stasiun Tugu, Di tiang barat lentera mengerjap dalam basah Anak perempuan itu dua tahun, melengkap dalam pangkuan. Malam makin lembab, kuning gemetar lampu stasiun. Kakaknya masih menyanyi Satu Tujuh Delapan Tahun. Taufik Ismail. Makna lambang dari kata lentera adalah . A. pantulan B. tantangan C. kehidupan D
PuisiPilihan Taufiq Ismail. Moskow: Humanitary, 2004.) Mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah (1970), Cultural Visit Award Pemerintah Australia ( 1977 ), South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand ( 1994 ), Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Kolaborasitari kontemporer dan puisi Ketika Burung Merpati Sore Melayang karya Taufik Ismail dipentaskan oleh Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk (Kopling) da
Puisi" Mencari Sebuah Mesjid" Karya : taufik Ismail "Mencari masjid" Mereka bercerita tentang masjid. Yang pilarnya adalah pohon hutan. Dasarnya - pilihan karang dan marmer. Atap terbang di mana awan terjebak. Dan kubahnya transparan, berkilau. Gosok topan Kutub Utara dan Selatan.
Dalampuisi karya Taufiq Ismail ini, mempunyai persamaan bunyi yang harmonitis. 3. Unsur ekstrinsik Unsur biografi. Taufiq Ismail lahir dari pasangan A. Gaffar Ismail (1911-1998) asal Banuhampu, Agam dan Sitti Nur Muhammad Nur (1914-1982) asal Pandai Sikek, Tanah Datar, Sumatera Barat. Ayahnya adalah seorang ulama dan pendiri PERMI.
\n\npuisi guru karya taufik ismail
Kumpulan puisi karya Taufik Ismail "Puisi-Puisi Menjelang Tirani dan Benteng", terdiri dari 32 puisi ditambah 18 puisi Tirani dan 22 puisi Benteng, antara lain: 1. Bukit Kelu, Bukit Biru 2. Elegi buat Sebuah Perang Saudara 3. Bilakah Kau Akan Melintas di Depan Ku 4. Potret di Beranda 5. Pekalongan Lima Sore SastrawanTaufiq Ismail membacakan puisi saat Rapat Pleno Pengundian Nomor Urut Partai Peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD 2014 di Kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Senin (14/1/2013). Baca Selanjutnya: Puisi Yang Utama ialah Hidup, Sekalipun Hidup Melarat Multatuli X.
Jikapuisi pendidikan sebelumnya mengisahkan tentang kontribusi seorang guru, namun puisi ini justru menyiratkan bahwa kita semua adalah guru. Puisi pendidikan demokrasi adanya cocok disematkan kepada puisi karya Taufik Ismail di atas. Beliau dengan jelas membandingkan suasana pemilihan umum yang terjadi di awal kemerdekaan.
JKaY.
  • gao9x6gdp4.pages.dev/272
  • gao9x6gdp4.pages.dev/661
  • gao9x6gdp4.pages.dev/977
  • gao9x6gdp4.pages.dev/881
  • gao9x6gdp4.pages.dev/985
  • gao9x6gdp4.pages.dev/360
  • gao9x6gdp4.pages.dev/681
  • gao9x6gdp4.pages.dev/850
  • puisi guru karya taufik ismail